Kamis, 25 Februari 2010

Peranan Koperasi Di Indonesia Berserta Contoh Nyata

Peranan Koperasi di Indonesia
Dan Contoh Nyata Koperasi


1.1 Latar Belakang
Jatidiri suatu bangsa bukan saja dapat kita lihat dari bagaimana karakter pokok dari para warga bangsa, tetapi juga dari pilihan ideologi dan sistem pemerintahan yang dipilih oleh bangsa tersebut, begitu pula jatidiri koperasi yang dapat kita lihat dari bagaimana karakter pokok dari para anggotanya dan pilihan ideologi serta sistemnya.
Pengamatan lapangan memberikan kita petunjuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran secara sadar maupun tidak sadar terhadap jatidiri koperasi yang merupakan karakteristik koperasi sebagai member based association. Proses penyimpangan-penyimpangan atau pelanggaran-pelanggaran tersebut sebenarnya telah berjalan untuk waktu jangka panjang sejak diperkenalkannya koperasi di Indonesia, akan tetapi menjadi sangat mengkhawatirkan selama 20 tahun terakhir ini karena telah menciptakan krisis jatidiri.
Beragam alasan yang menjadi penyebab penyimpangan dan pelanggaran jatidiri tersebut, kalau dikelompokan maka sumbernya terletak pada masalah ideologis. Termasuk kepemimpinan dan kepercayaan yang satu sama lain terkait erat. Krisis ideologi didorong tidak dipahaminya atau diabaikannya nilai-nilai koperasi sebagai dasar dan tuntunan perkoperasian, yang melahirkan kepemimpinan gerakan koperasi yang tidak menghayati moralitas koperasi yang menurut gilirannnya merusak kepercayaan dalam jajaran gerak koperasi sendiri maupun masyarakat. Padahal apabila kita rujuk dalam kehidupan perkoperasian di Jerman, mereka dapat menghasilkan ideologi-ideologi yang positif dan lingkungan perkoperasian yang sangat stabil bahkan cenderung meningkat. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah perkoperasian mereka mendapat dukungan yang luar biasa dari pemerintahan baik kedudukannya maupun secara peranan. Walaupun secara nyatanya memang negara-negara maju sangatlah berbeda dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan tetapi menurut pemahaman kami hal tersebut bukanlah sebuah pematah semangat untuk membangkitkan kembali jatidiri perkoperasian di Indonesia. Terlebih lagi dinyatakan secara sederhana dan jelas bahwa gerakan koperasi di seluruh dunia bekerja berdasarkan landasan moral dan operasional yang sama, yakni jatidiri koperasi sebagaimana disepakati bersama oleh gerakan koperasi sedunia dalam kongres ICA ke-100 di Manchester tahun 1995.
Sehingga untuk mewujudkan hal-hal tersebut, langkah pertama dan mendasar yang perlu dilakukan adalah menegakkan kembali jatidiri koperasi sebagai dasar dan tuntunan bagi pemulihan kembali kehidupan perkoperasian. Pedoman untuk itu telah diberikan oleh pernyataan ICA dalam makalah ini. Langkah selanjutnya adalah menetapkan tolok ukur-tolok ukur dalam menentukan apakah koperasi telah bekerja berdasarkan jatidiri koperasi atau belum. Untuk memahami semua hal itu, makalah ini mengemukakan lebih jauh tentang jatidiri koperasi dari definisi, nilai, hingga prinsip-prinsip koperasi, sebagai dasar untuk mengidentifikasi dan menjelaskan permasalahan koperasi. Sehingga secara tidak langsung keunggulan-keunggulan koperasi dapat dibandingkan dengan organisasi ekonomi lainnya.

2.1. a. Perbandingan tentang Jatidiri Koperasi Menurut ICA Statement tahun 1995 dengan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, sehingga koperasi tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatan itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan atau perlindungan yang diperlukan.
Pada akhir 1980-an koperasi dunia mulai gelisah dengan proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dimana-mana, sehingga berbagai langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Hingga tahun 1992 Kongres ICA (International Co-operative Alliance) di Tokyo melalui pidato Presiden ICA (Lars Marcus) masih melihat perlunya koperasi melihat pengalaman swasta, bahkan laporan Sven Akheberg menganjurkan agar koperasi mengikuti layaknya “private enterprise”. Namun dalam perdebatan Tokyo melahirkan kesepakatan untuk mendalami kembali semangat koperasi dan mencari kekuatan gerakan koperasi serta kembali kepada sebab di dirikannya koperasi. Sepuluh tahun kemudian Presiden ICA saat ini Roberto Barberini menyatakan koperasi harus hidup dalam suasana untuk mendapatkan perlakuan yang sama “equal treatment” sehingga apa yang dapat dikerjakan oleh perusahaan lain juga harus terbuka bagi koperasi (ICA, 2002). Koperasi kuat karena menganut “established for last”.
Pada tahun 1995 gerakan koperasi menyelenggarakan Kongres (ICA) ke-100 di Manchester. Kongres ini telah mengesahkan ICA Co-operative Identity Statement (ICIS) yang menjadi dasar tentang pengertian prinsip dan nilai dasar koperasi untuk menjawab tantangan globalisasi. Patut dicatat satu hal bahwa kerisauan tentang globalisasi dan liberalisasi perdagangan di berbagai negara terjawab oleh gerakan koperasi dengan kembali pada jati diri, namun pengertian koperasi sebagai “enterprise” dicantumkan secara eksplisit. Meskipun hasil rumusan ini tidak sepenuhnya baru, namun perlu untuk lebih dihayati, khususnya bagi pelaku koperasi.
Isi dari kongres tersebut menyebutkan definisi, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam koperasi. Isi kongres tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Definisi
Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis.
b. Nilai-nilai
Koperasi bekerja berdasarkan nilai-nilai: swadaya, swa-tanggung jawab, demokrasi, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan. Dalam tradisi dari pendiri-pendirinya, anggota-anggota koperasi percaya pada nilai-nilai etik dari kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan peduli terhadap orang-orang lain.
c. Prinsip-prinsip
Prinsip-prinsip koperasi adalah garis-garis penuntun yang digunakan oleh koperasi untuk melaksanakan nilai-nilai koperasi dalam praktek.
1. Prinsip pertama: Keanggotaan sukarela dan terbuka. Koperasi adalah perkumpulan sukarela, terbuka bagi semua orang yang mampu menggunakan jasa-jasa perkumpulan dan bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan, tanpa diskriminasi jender, sosial, politik dan agama.
2. Prinsip kedua: Pengendalian oleh anggota-anggota secara demokratis. Koperasi adalah perkumpulan demokratis dikendalikan oleh para anggota yang secara aktif berpartisipasi dalam penetapan kebijakan-kebijakan perkumpulan dan pengambilan keputusan-keputusan, laki-laki dan perempuan mengabdi sebagai wakil-wakil yang dipilih, bertanggung jawab kepada para anggota. Dalam koperasi primer anggota-anggota mempunyai hak suara yang sama (satu anggota satu suara), dan koperasi-koperasi pada tingkat lain juga diatur secara demokratis.
3. Prinsip ketiga: Partisipasi ekonomi anggota. Anggota-anggota menyumbang secara adil bagi dan mengendalikan secara demokratis, modal dari koperasi mereka. Sekurang-kurangnya sebagian dari modal tersebut biasanya merupakan milik bersama dari koperasi. Anggota-anggota biasanya menerima kompensasi yang terbatas, bilamana ada, terhadap modal. Anggota-anggota membagi surplus-surplus untuk sesuatu atau tujuan-tujuan sebagai berikut: pengembangan koperasi-koperasi mereka, kemungkinan membentuk cadangan sekurang-kurangnya sebagian dari padanya tidak dapat dibagi-bagi; pemberian manfaat kepada anggota-anggota sebanding dengan transaksi-transaksi mereka dengan koperasi; dan mendukung kegiatan-kegiatan yang disetujui oleh anggota-anggota.
4. Prinsip keempat: Otonomi dan kebebasan. Koperasi bersifat otonom, merupakan perkumpulan yang menolong diri sendiri dan dikendalikan oleh anggota-anggotanya. Koperasi bila mengadakan kesepakatan-kesepakatan dengan perkumpulan-perkumpulan lain, hal itu dilakukan dengan persyaratan-persyaratan yang menjamin adanya pengendalian oleh anggota-anggota serta dipertahankannya otonomi koperasi.
5. Prinsip kelima: Pendidikan, pelatihan, dan informasi. Koperasi menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi anggota-anggotanya,para wakil yang dipilih, manajer dan karyawan, sehingga mereka dapat memberikan sumbangan yang efektif bagi perkembangan koperasi mereka. Koperasi memberikan informasi kepada masyarakat umum, khususnya orang-orang muda, dan pemimpin-pemimpin opini masyarakat mengenai sifat dan kemanfaatan kerjasama.
6. Prinsip keenam: Kerjasama di antara koperasi-koperasi. Koperasi akan dapat memberikan pelayanan yang paling efektif kepada para anggota dan memperkuat gerakan koperasi dengan cara bekerjasama melalui struktur-struktur lokal, nasional, regional, dan internasional.
7. Prinsip ketujuh: Kepedulian terhadap komunitas. Koperasi-koperasi bekerja bagi pembangunan yang berkesinambungan dari komunitas-komunitas mereka melalui kebijakan-kebijakan yang disetujui anggota-anggotanya.

Di Indonesia, definisi dan prinsip koperasi telah dituangkan dalam perundang-undangan mengenai koperasi, yaitu pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1967. Isi dari perundang-undangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Definisi
Koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum Koperasi yang merupakan tata-susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
b. Prinsip-prinsip Koperasi
Prinsip-prinsip Koperasi dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1967 disebutkan dalam Bab IV Pasal 6 sebagai sendi-sendi dasar Koperasi Indonesia , yaitu sebagai berikut :
1. Sifat keanggotaannya sukarela dan terbuka untuk setiap warga negara Indonesia,
2. Rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi, sebagai pencerminan demokrasi dalam Koperasi,
3. Pembagian sisa hasil usaha diatur menurut jasa masing-masing anggota,
4. Adanya pembatasan bunga atas modal,
5. Mengembangkan kesejahteraan anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya,
6. Usaha dan ketata-laksanaannya bersifat terbuka,
7. Swadaya, swakerta dan swasembada sebagai pencerminan dari pada prinsip dasar : percaya pada diri sendiri.

Namun, saat ini Undang-Undang tentang perkoperasian Indonesia tersebut telah diamandemen dan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 1992. Definisi dan prinsip-prinsip yang disebutkan dalam Undang-Undang tersebut adalah :
a. Definisi
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
b. Prinsip-prinsip Koperasi
Prinsip Koperasi ini dicantumkan pada Bab III Pasal 5, yaitu sebagai berikut :
(1) Koperasi melaksanakan prinsip Koperasi sebagai berikut :
a. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;
b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis;
c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;
d. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
e. Kemandirian
(2) Dalam mengembangkan Koperasi, maka koperasi melaksanakan pula prinsip Koperasi sebagai berikut :
a. Pendidikan perkoperasian;
b. Kerja sama antarkoperasi.

Dari ketiga definisi Koperasi tersebut, terdapat perbedaan yang mendasar antara definisi yang disebutkan yaitu, pada ICA Statement 1995 disebutkan bahwa Koperasi merupakan perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis. Sedangkan menurut Undang-Undang Perkoperasian di Indonesia yang berlaku dahulu yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 menyebutkan Koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum Koperasi yang merupakan tata-susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Menurut Undang-Undang yang berlaku di Indonesia saat ini yaitu Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Menurut Undang-Undang yang berlaku di Indonesia Koperasi memiliki kedudukan yang disejajarkan dan diberlakukan sebagaimana badan usaha lainnya misalnya terkena pajak, tidak boleh menjadi monopoli, dan kinerja keberhasilan yang diperbadingkan dengan jenis badan usaha lainnya. Padahal, makna yang disebutkan dalam ICA Statement 1995 tidak mengindikasikan bahwa koperasi hanya sebagai badan usaha yang sejajar dengan badan usaha lainnya namun memiliki kelebihan lain dengan double identity yang dimilikinya.

2.1.b Faktor Penyebab Perbedaan UU No.25 Tahun 1992 dan UU No.12 Tahun 1967 dengan ICA Statement Tahun 1995 tentang Jatidiri Koperasi
Jatidiri koperasi meliputi definisi, nilai, dan prinsip koperasi sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam pernyataan tentang jatidiri koperasi yang dikeluarkan oleh Aliansi Koperasi Sedunia (Intemational Cooperatives Alliance/ICA), pada kongres ICA di Manchester, Inggris pada bulan September 1995, koperasi didefinisikan sebagai perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis (berdasarkan terjemahan yang dibuat oleh Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I).
Dari jatidiri koperasi tersebut, tampak jelas adanya perbedaan yang mendasar antara koperasi sebagai perusahaan dan sebuah perseroan terbatas (PT). Dari segi pengertiannya, koperasi adalah perkumpulan orang-orang, sedangkan PT adalah kumpulan modal/saham. Mereka terhimpun (secara sukarela) untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka di bidang ekonomi, sosial, dan budaya dengan memiliki perusahaan bersama yang dikendalikan secara demokratis, yang menggambarkan bahwa koperasi adalah sistem dimana anggota adalah pemilik dan sekaligus pelanggan/pengguna jasa dari perusahaan sendiri, yang pada PT kedua hal tersebut dipisah. Oleh karena itu, dapat ditarik dua hal yang prinsipal dalam koperasi, yaitu:
1. Karena anggota menjadi pengguna jasa dari perusahaan miliknya sendiri, maka tidak ada pengertian transaksi perdagangan seperti halnya pada pedagang dengan pelanggannya. Dengan demikian, pengertian profit menjadi tidak relevan bagi koperasi. Hal yang terjadi adalah pelayanan pada diri sendiri, sehingga motif koperasi dalam melakukan kegiatan ekonomi adalah pelayanan sebaik-baiknya kepada anggota. Hal ini berbeda dengan motif perusahaan yang berusaha memaksimalkan profit. Jasa koperasi kepada anggota dilakukan berdasarkan service at cost, dan jika ada surplus, maka surplus tersebut (setelah dikurangi untuk cadangan) dikembalikan kepada anggota-anggotanya sesuai dengan besar-kecinya jasa yang dimanfaatkan anggota.
2. Atas dasar pemahaman di atas, maka koperasi tidak dikenakan pajak penghasilan karena membuat laba yang dapai dikenai pajak. Namun, hal ini telah dilakukan di Indonesia, karena ketentuan UU No.25 Tahun 1992 mempersamakan koperasi dengan badan usaha lain, dimana koperasi dikenakan pajak terhadap SHU-nya.

Menurut Soedjono (2001), konsep murni dari koperasi berbeda dalam prakteknya di lapangan sehingga menyebabkan koperasi mengalami krisis jatidiri, hal ini disebabkan oleh:
1. Lemahnya pemahaman dan kesadaran anggota-anggota dan pemimpin-pemimpin koperasi akan makna dan jatidiri koperasi. Banyak diantara mereka yang masuk menjadi anggota koperasi karena mengharapkan fasilitas dan kemudahan-kemudahan. Kondisi ini membuat koperasi mudah larut dalam arus lingkungan negara maju ekonomi dan sosial yang seharusnya dikoreksi oleh konsep koperasi.
2. Lemahnya dan tidak efektifnya UU yang mengatur kegiatan koperasi maupun peran pemerintah. UU No. 25 Tahun 1992 “melucuti” wewenang pemerintah dan tidak memberi sanksi terhadap pelanggaran.
3. Pemerintah yang menjadi pelaksana ketentuan UU Perkoperasian cenderung tidak konsisten melaksanakan kewajiban dan tugas yang dibebankan oleh UU tersebut. Dalam prakteknya, Departemen yang membidangi koperasi lebih bersemangat menggerakkan usaha koperasi daripada membangun koperasi itu sendiri dalam arti organisasi dan manajerial. Banyak orang yang tidak memahami bahwa organisasi adalah modal utama koperasi untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha yang benar.

Soedjono (2000) mengatakan bahwa UU No. 25 tahun 1992 sebagai dasar hukum peran dan wewenang pemerintah dalam keterlibatannya dengan kehidupan perkoperasian secara formal telah menciptakan debirokratisasi, akan tetapi pada kenyataannya (karena dukungan politik riil), pemerintah justru mengenggam kekuasaan (operasional)yang sangat besar. Fungsi-fungsi utama yang melekat pada setiap pemerintah, regulator (pengaturan) dan developmental (pembangunan), dikembangkan sangat jauh dan luas. Sepertinya pemerintah berniat untuk menjadi “lokomotif” pembanguna untuk selama-lamanya.
Di Indonesia, karena kekeliruan dan lemahnya kesadaran akan watak dan tujuan sosial koperasi, maka banyak koperasi didorong untuk lebih berorientasi pada profit sehingga kita sulit membedakan perusahaan koperasi dengan perusahaan swasta. Koperasi memang memerlukan laba untuk tujuan investasi, peningkatan pelayanan, dan sebagainya, tetapi tidak bermotifkan laba. Dalam sistem koperasi, kedudukan manusia ditempatkan di atas modal. Koperasi memang bekerja dengan modal, tetapi bukan untuk modal dan pemodal. Kesalahan dan kelemahan kita berkoperasi pada umumnya berpangkal pada pemahaman yang melihat koperasi sekedar dalam arti organisasi, bukan dalam arti jatidirinya sebagai suatu keutuhan. Kendala besar dalam upaya mengatasi krisis jatidiri ini adalah tidak adanya persamaan persepsi perkoperasian di sektor koperasi, antar-gerakan koperasi sendiri, dan antar gerakan dengan pemerintah. Tampaknya “semangat koperasi” di kalangan kita sedang mengalamui kelumpuhan.
Soedjono menambahkan, sumber utama dari krisis jatidiri koperasi adalah:
1. Krisis Ideologi. Motif pelayanan telah berubah menjadi motif motif mengejar keuntungan dengan meninggalkan prinsip-prinsip koperasi.
2. Krisis Kepemimpinan. Gerakan koperasi cenderung merupakan gerakan ekonomi dan sosial yang lemah dan golongan miskin sehingga tidak cukup menghasilkan pimpinan yang memenuhi syarat yang diperlukan dalam suatu gerakan koperasi. Hal ini memungkinkan masuknya pimpinan dari luar yang dindang, tidak diundang, maupun di-drop oleh pemerintah sehingga berdampak pada KKN.
3. Krisis Kepercayaan. Budaya Indonesia selalu mementingkan adanya panutan dan teladan. Dalam hal ini, pengurus selalu diharapkan dan dituntut untuk menjadi panutan. Penyelewengan yang dilakukan pengurus membuat mereka kehilangan kepercayaan dari anggotanya, sehingga anggota tidak lagi percaya terhadap koperasi secara keseluruhan.

Meski telah disepakati selama hampir 13 tahun sejak disahkannya pada tahun 1995, Jatidiri Koperasi ICA belum dipahami secara luas, apalagi diterapkan dalam praktek kehidupan perkoperasian di Indonesia. Demikian pula dalam rangka perumusan kebijakan pengembangan koperasi oleh pemerintah, Jatidiri Koperasi juga masih sangat terbatas digunakan sebagai dasar/pedoman kebijakannya. Sosialisasi Jatidiri Koperasi ICA sebenarnya pernah dilakukan secara intensif (2001-2003) oleh LSP2I (Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia) di berbagai kota di Indonesia, tetapi karena lembaga ini semata berfungsi sebagai "think tank", yang tidak mempunyai otoritas untuk menjadikan ketentuan tersebut sebagai pedoman yang harus dilaksanakan, maka tindak lanjut pelaksanaannyapun masih terbatas. LSP2I mengemukakan beberapa penyebab keterbatasan implementasi ICA Statement dalam perundangan dan kebijakan pemerintah, yaitu:
• Belum optimalnya kerjasama antara pemerintah dan gerakan koperasi.
• Pemerintah (Kementerian Koperasi & UKM) kurang mensosialisasikan Jatidiri Koperasi di kalangan instansi-instansi pemerintah, khususnya yang mempunyai peranan dalam pembangunan koperasi. (Resolusi Konferensi Menteri-menteri Koperasi se-Asia Pasifik 1997).
• Sehubungan dengan berlakunya UU otonom; belum ada ketentuan mengenai pengembangan koperasi yang berjatidiri, yang berlaku secara nasional.
• Pemerintah belum membuat UU serta peraturan/kebijakan pembinaan koperasi yang secara konsisten berdasarkan Jatidiri Koperasi ICA (ICIS).
• Dalam upaya membangun koperasi yang sehat dan mandiri, dukungan pemerintah belum ditujukan pada penguatan kelembagaan (organisasi dan manajemen usaha).
• Antara pemerintah dan gerakan koperasi tidak memiliki persepsi/pemahaman dan penafsiran yang sama terhadap Jatidiri Koperasi sebagai oasis bagi kemitraan dalam pembangunan Koperasi secara nasional. Kebijakan pembangunan koperasi nasional ini seharusnya dituangkan dalam "Kebijakan Nasional Pembangunan Koperasi", yang memuat apa yang harus dilakukan gerakan dan apa yang harus dilakukan pemerintah.

Menurut Djohan, terdapat dua kelemahan koperasi Indonesia. Pertama, kurangnya pemahaman secara cermat terhadap UU No.25/1992 oleh pada stakeholder (pemangku kepentingan) dari pusat sampai ke daerah, baik di jajaran birokrasi maupun gerakan koperasi yang seharusnya punya standar komitmen yang sama. Penjabaran lebih lanjut pada produk hukum sebagai peraturan pelaksanaan dari UU yang kedudukannya lebih tinggi itu, semisal PP/Keppres/Inpres/Permen bahkan AD koperasi sebagai aturan internal, dalam pasal-pasalnya, seharusnya tidak menimbulkan interpretasi ganda alias salah tafsir. Berdasarkan pengamatan, terjadinya anomali kebijakan ekonomi era Orba berakibat pada pemahaman yang salah tafsir terhadap UU No.12/1967. Berbagai kebijakan yang bersumber pada UU itu cenderung menganakemaskan (lebih tepat meninabobokkan) KUD. Kurang lebih seperempat abad pembinaan KUD tidak berkibar jaya, justru sebaliknya meninggalkan stigma citra buruk koperasi. Kemudian dengan UU No.25/1992, eksistensi koperasi masih terseok-seok. Lebih menyedihkan banyak terjadi penyimpangan secara prinsipial terhadap jatidiri koperasi. Kedua, warisan hegemoni kekuasaan Orba dampaknya masih terasa. Kebijakan pembinaan dan pengembangan koperasi masih terasa adanya nuansa "mencampuri urusan internal koperasi" sehingga prinsip kemandirian jauh panggang dari api. Menghadapi ragam akar permasalahan seperti itu perlu revitalisasi kelembagaan dan mengembalikan pada jatidiri koperasi yang sejati. Seringkali kita melihat fakta empiris tentang titik-titik lemah kelembagaan koperasi. Anggota yang punya peran ganda (sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa) tidak pernah memegang AD dan/atau ART sebagai aturan main dalam berkoperasi. Mereka pasif, sementara pengurus membiarkan kondisi tersebut.
Kelemahan di titik kelembagaan lainnya adalah banyak koperasi yang tidak melakanakan "demokrasi tahunan", termasuk banyak KUD pasca Inpres No.18/1998 tidak lagi menjadi "anak emas" pemerintah, malah sangat memprihatinkan. Lebih parah lagi ada KSP yang RAT-nya tanpa menghadirkan anggota dan LPJ-nya cukup dikirim ke pejabat Diskop. Banyak lagi fakta kelemahan koperasi yang ujung-ujungnya cita-cita menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional, semakin jauh dari jangkauan. Padahal kedudukan koperasi sebagai badan usaha maupun gerakan ekonomi rakyat punya peran sangat strategis dan menjadi bagian integral dari tata perekonomian nasional. Dekopin yang dibentuk secara legitimed merupakan organisasi tunggal gerakan koperasi, semakin jauh ditinggal anggotanya. Sebaliknya, gerakan koperasi cenderung dekat dan ketergantungan pada pemerintah. Dikhawatirkan, muncul ketergantungan yang berdampak terpolanya karakter koperasi yang tidak pernah mandiri dan dengan sendirinya kehilangan jatidirinya.
Pelaksanaan UU No. 12 tahun 1967 mengalami distorsi ketika memasuki Pelita IV dan meningkat pada Pelita V. Hal ini disebabkan oleh terlalu jauhnya peranan pemerintah dalam manajemen koperasi dan menganggap watak sosialnya menghambat peran ekonomi koperasi. UU No. 25 tahun 1992 lahir dalam suasana debirokrasi dan deregulasi serta makin meningkatnya peran ekonomi pasar yang didorong oleh gobalisasi ekonomi yang kapitalistik dan liberal. Di banding UU no.12 tahun 1967, UU no 25 tahun 1992 lebih komprehensif tetapi juga lebih berorientasi ke pemahaman "kapitalis". Ini disebabkan UU baru itu sesungguhnya memberi peluang koperasi untuk bertindak sebagai sebuah perusahaan yang memaksimalisasikan keuntungan (Widiyanto dalam Tambunan, 2008). Dalam UU ini, ada dua hal yang perlu dicatat, yaitu:
1. Sebagai antiklimaks dari “kekuatan” terhadap campur tangan pemerintah, maka wewenang pemerintah untuk melakukan audit terhadap koperasi ditiadakan. Hal ini menyebabkan tidak adanya sarana efektif dalam pembinaan koperasi dan ketidaktertiban keuangan akibat pelanggaran prinsip koperasi.
2. UU ini melihat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat modern yang homogen, padahal dalam kenyataannya masih dualistik dengan sektor tradisional yang sangat besar dan luas.
Perundang-undangan yang berubah-ubah tampak mengindikasikan adanya diskontinuitas pemahaman yang berdampak pada perkembangan pemikiran perkoperasian yang menggambarkan kurang berhasilnya pendidikan perkoperasian. Penyimpangan juga dipengaruhi oleh lingkungan yang cenderung bebas, meningkatnya konsumerisme hedonistik, materialisme, dan makin melemahnya kesetiakawanan serta kehidupan bergotong royong sehingga kepercayaan terhadap koperasi memudar.
Mungkin perbedaan yang paling besar antara koperasi di negara-negara lain, khususnya negara maju, dengan di Indonesia adalah bahwa keberadaan dan peran dari koperasi di Indonesia tidak lepas dari ideologi Pancasila dan UUD 45, yakni merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara (Hariyono dalam Tambunan, 2008).

Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu: (i) program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (iii) perusahaan baik milik negara (BUMN) maupun swasta (BUMS) dalam koperasi karyawan sehingga prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya. Intervensi dari pemerintah yang terlalu besar adalah salah satu penyebab utama lambatnya perkembangan koperasi di Indonesia. Selama ini koperasi dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia.

2.2.a Menjadikan Koperasi Sebuah Kekuatan atau Keunggulan bagi Gerakan Koperasi itu Sendiri
Koperasi dibangun dalam kaitannya untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya. Karena itu menjadi salah, apabila koperasi bekerja untuk dirinya sendiri dan melupakan kepentingan anggotanya. Namun hal itu jarang dipahami, dan kurang berhasil tertanam dalam jiwa dan sikap setiap anggota koperasi, termasuk para pembinanya. Sementara itu koperasi telah banyak pula yang kurang mampu menerapkan dan mengkonsolidasikan dirinya dengan mengacu pada jatidirinya, yang secara konseptual menjadi keunggulan komparatif organisasi ini. Untuk mengupayakan koperasi agar mampu kembali kepada jatidirinya, diperlukan pemahaman yang intensif dari masyarakat koperasi tentang pengertian jatidiri koperasi. Hal itu menuntut perencanaan, aplikasi yang konsisten, macam intensif serta berkelanjutan. Tuntutan koperasi kembali ke jatidirinya, dilakukan untuk mewujudkan dan membangun perilaku organisasi koperasi yang sehat dan mantap, dengan tetap berpegang teguh pada jatidirinya. Dalam hubungan itulah perlu dipertanyakan: apa sebenarya yang dimaksud dengan koperasi kembali kepada jatidirinya? Apakah itu berarti selama ini koperasi telah tumbuh tanpa mendasarkan pada jatidiri yang sebenarya dan apakah koperasi tersebut dapat diharapkan mampu kembali pada jatidirinya?
Kesimpulan sementara menunjukkan bahwa tanpa tersedianya informasi tentang kemampuan koperasi mewujudkan jatidirinya, yang berarti apabila koperasi tidak mampu lagi menorehkan identitas sesungguhnya, itu berarti bahwa prestasi dari rangkaian kegiatan proses pembangunan dan pengembangan koperasi di masa mendatang tidak mungkin akan menghasilkan perubahan yang berarti bagi jajaran perkoperasian Indonesia. Sebagaimana diketahui identitas (ciri) organisasi koperasi merupakan wujud indi-kator status organisasi bersangkutan dan sekaligus menjadi unggulan organisatoris yang membedakannya (distinctive) dari lembaga-lembaga atau pelaku-pelaku ekonomi lain. Demikian pula, seandainya prestasi dimaksud dapat diwujudkan akan tetapi jajaran koperasinya tetap tidak mampu menunjukkan jatidiri yang sebenarnya maka sudah dapat diramalkan bahwa benar-benar tidak akan banyak berbeda, dari kondisi yang dijumpai saat ini, bahkan mungkin juga sama dengan kondisi yang dijumpai saat ini, bahkan mungkin juga sama dengan kondisi yang sifatnya set back, dan jelas merugikan rangkaian proses pertumbuhan perkoperasian Indonesia sendiri.
Pentingnya koperasi kembali ke jatidirinya, juga relevan semakin terbukanya pasar dalam negeri melalui aplikasi era perdagangan bebas. Perubahan itu akan melegalisasi tumbuhnya persaingan yang semakin tajam diantara pelaku ekonomi dalam meraih pangsa pasar, terutama dengan memanfaatkan sarana yaitu keunggulan komparatif dari masing-masing pelaku ekonomi tersebut. Sehubungan dengan hal itu, apabila pembahasan telah menyentuh aspek pangsa pasar, maka materinya sejauh mungkin perlu dikaitkan dengan pemanfaatan jatidiri organisasi yang dapat mendukungnya untuk menghasilkan secara efektif kombinasi dari beberapa komponen pokok, yaitu: (a) produk/ jasa yang dijual, (b) kegiatan untuk menghasilkan produk atau untuk melayani kebutuhan anggota, serta (c) konsumen sebagai sasarannya. Dengan cara seperti itu proses kembalinya koperasi kepada jatidirinya, akan meliputi proses pelaksanaan dari aplikasi pemanfaatan kembali ciri-ciri organisasi koperasi , yang menjadi salah satu faktor unggulannya dalam praktek di masa mendatang.
Secara makro, organisasi formal yang berfungsi memantau konsisten dan ketepatan aplikasi identitas koperasi dan sekaligus melakukan promosi dan advokasinya, adalah Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN). DEKOPIN dalam fungsinya memperjuangkan kelangsungan aplikasi ciri-ciri identitas organisasi dimaksud, sedang dalam tingkat mikro atau operasional teknis dilapangan secara langsung dan sepenuhnya diserahkan kepada kearifan atau kedewasaan dari koperasi-koperasi (primer dan skunder) yang menjadi anggotanya. DEKOPIN memberi arah yang dapat menjadi acuan untuk memantapkan pembinaan kelembagaan koperasi yang mampu mendukung intensifnya pelaksanaan kegiatan usaha dalam kelompok masyarakat bersangkutan.
Dengan demikian pada tingkat makro hal itu diharapkan akan dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan berbagai kekuatan koperasi, yang dapat mendukung penempatannya pada posisi sebagai satu kesatuan organisasi dalam jajaran nilai-nilai sistem perekonomian nasional (dalam lingkup politik ekonomi). Sebagai satu wadah kegiatan gerakan koperasi (cooperative movement), DEKOPIN juga memiliki tugas pokok: berjuang melindungi para anggotanya. Selain dengan kegiatan promosi dan advokasi, DEKOPIN juga harus mampu mengembangkan pola dan program pendidikan dan pelatihan yang efektif bagi para anggotanya dan demi kemajuan perkoperasian nasional. Dewan ini pula yang mengembangkan dan menyelenggarakan hubungan internasional secara konsisten antara koperasi-koperasi primer dengan asosiasi atau mancanegara. Hal itu dilakukan dengan tujuan membina terwujudnya kerjasama yang bermanfaat bagi tumbuh-kembangnya jajaran koperasi Indonesia pada umum.
Perubahan tuntutan dari lingkungan dunia usaha terhadap koperasi, yang indikasinya pada hakekatnya telah muncul sejak awal Repelita III yang lalu, atas posisi koperasi dalam statusnya sebagai sarana bagi rakyat kecil untuk melaksanakan kegiatan ekonomi yang layak. Kegiatan usaha tersebut harus dapat dilakukan oleh koperasi terutama untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya. Karena itu ukuran keberhasilan kegiatannya harus mengacu pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran para anggotanya melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia dengan efektif dan eflsien. Itulah salah satu bentuk aplikasi identitas koperasi.
Sementara itu di sisi lain, koperasi juga diharapkan mampu menerapkan serangkaian langkah yang berorientasi pada aplikasi asas kekeluargaan. Hal itu sedikit banyak nampak berbau sosial, yang oleh berbagai pihak tertentu banyak dianggap mempunyai dampak berupa upaya-upaya penyelesaian masalah-masalah bisnis. Implementasi makna pasal 33 yang memanfaatkan dua nilai ganda pada koperasi ternyata dapat dikembangkan saling mendukung dan saling mengisi satu sama lain, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang berbeda nyata sifatnya di banding lembaga-lembaga pelaku ekonomi lainnya. Itulah yang menjadi keunggulan komparatif bagi koperasi, yang akan menambah semakin kuatnya proses aplikasi dari aspek sosial yang terintegrasi dalam aspek usaha.
Pertama, pemahaman dapat dimulai dengan menguasai pengertian koperasi. Dalam hubungan itu koperasi harus dipahami dan dimengerti dari proses pembentukannya. Sementara itu koperasi dibentuk dengan alasan dasar yang rasional sifatnya yaitu untuk secara bersama-sama memenuhi dan memecahkan berbagai masalah yang dapat memenuhi kebutuhan dalam bidang ekonomi, sosial, kultural termasuk aspirasi para pendiri dan anggota lainnya. Karena itu wajar apabila koperasi dimiliki sepenuhnya oleh para anggotanya, pada tingkatan dan luasan yang sama, sehingga akibatnya jasa dan kegiatan koperasi harus dapat dinikmati oleh anggota bersangkutan. Oleh karenanya koperasi harus dikelola secara demokratis, dalam pengertian bahwa kekuasaan tertinggi dalam kegiatan pengambilan keputusan di tingkat organisasi berada pada "lembaga rapat anggota", yang umumnya dilakukan setiap tahun, walaupun tidak tertutup kemungkinan dilakukan penyelenggaraan rapat anggota luar biasa. Dengan demikian tidak salah kalau koperasi dinyatakan menjadi kumpulan orang-orang dan bukan kumpulan modal, yang menjadi ciri PT atau badan hukum lainnya. Karena sebagai kumpulan orang-orang maka berlaku hukum one man one vote. Hal itu mempunyai konsekuensi pada aplikasi program penyertaan dana (saham) pada ciri dan jiwa koperasi. Dengan demikian untuk mengukur keberhasilan koperasi, berarti harus mengukur bukan saja terwujudnya hal-hal atau kriteria yang diuraikan di muka, melainkan juga harus mengukur keeratan dan keterkaitan koperasi dengan anggotanya.
Kedua, ada komponen informasi lain yang menunjukkan adanya hubungan atau keterkaitan signifikan dan menjadi fondasi utama bagi sejumlah koperasi yang sukses. Ternyata hal itu telah diaplikasikan secara konsisten. Bisa jadi proses aplikasi tidak sepenuhnya di sadari telah dikembangkan oleh para pengurus atau manajemen sehingga memungkinkan terwujudnya sinergi yang positif dari komponen langkah tindakan dan keputusan mereka dan dukungan anggota koperasi bersangkutan serta kondisi lingkungan kerja yang kondusif. Hasilnya telah mendorong terbentuknya landasan pengembangan dan peningkatan kemampuan koperasi bersangkutan. Dengan terciptanya keeratan hubungan koperasi dengan para anggotanya, maka tumbuhnya kemampuan koperasi akan semakin dipicu, diantaranya dalam hal kemampuan: (a) peningkatan pelayanan kebutuhan ekonomi anggota; (b) pemanfaatan koperasi untuk menjual atau mengolah produk anggota; (c) pemanfaatan koperasi sebagai penyandang dana, dengan cara menggunakan kelebihan dana milik anggota yang disimpan pada KSP /USP; (d) pemanfaatan koperasi sebagai sumber kekuatan dalam bernegosiasi atau melakukan langkah-langkah bisnis lainnya. Kesemuanya itu tidak lain dimaksudkan agar dapat menunjukkan kepada kita semua, bahwa kegiatan pernbinaan yang dipusatkan pada aspek -aspek keunggulan komparatif dari organisasi koperasi perlu dirawat secara konsisten.
Ketiga, menyangkut aspek keanggotaan koperasi. Dalam hal ini secara khas koperasi memiliki kemampuan mengimplementasikan secara operasional pengertian bahwa anggota koperasi adalah pemilik sekaligus juga pengguna jasa dan produk koperasinya. Hal mana akan terwujud apabila anggota menunjukkan sikap loyal kepada koperasinya,yang dalam bahasa umum merasa memiliki koperasinya. Aplikasinya harus terwujud dalarn bentuk langkah terencana dan konkrit, seperti misalnya mengakumulasikan kelebihan dana untuk modal kegiatan usaha koperasi yang bermanfaat bagi pemenuhan kepentingan anggota, baik melalui pengaturan kembali simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela yang material sifatnya. Anggota juga dapat memanfaatkan jasa pelayanan lain seperti penyediaan bahan-bahan pokok atau distribusi produk untuk kepentingan usaha anggota. Sebaliknya dalam posisi dan kesempatan yang sarna, pengurus dan manajemen koperasi harus mampu menghasilkan pelayanan yang dapat memberikan manfaat konkrit, baik fisik ekonomis maupun psikologis. Misalnya melalui program potongan harga jual produk yang ditangani oleh koperasi, kemudahan untuk mendapatkan kebutuhan, kualitas yang lebih baik, dan lain sebagainya termasuk memberikan jaminan (sekuriti), cara penjualan prod uk anggota yang lebih baik, serta perlindungan dart kompetisi dan manfaat kualitatif lainnya. Oleh karena itu dalam upaya mengoptimalkan terwujudnya manfaat diantara kedua belah pihak komposisi kesamaan usaha dari kepentingan ekonomi dari anggotanya merupakan faktor penentu dalarn hal mudah atau tidaknya mengembangkan pelayanan terpadu yang optimal. Dengan demikian, koperasi secara konseptual akan berkembang relative lebih cepat, apabila homogenitas kepentingan dan kebutuhan anggota dapat dirumuskan untuk dipenuhi, dan bukan dikarenakan hanya oleh kemampuan koperasi bersangkutan memanfaatkan sumberdaya yang,tersedia bagi kegiatan usahanya. Koperasi dengan demikian bisa menjadi sukses, sebagai konsekuensi dari aplikasi pengertian para anggota koperasi sebagai pemilik, sekaligus sebagai pengguna jasa atau produk koperasinya. Mekanisme dan sekaligus tolok ukur keberhasilan pengelolaan kondisi seperti itu akan dapat dikenali dari berapa besar dan berapa banyak, kegiatan pelayanan yang dapat diberikan koperasi, yang kemudian dapat dinikmati oleh para anggotanya.
Keempat, berdasar pola transaksi seperti itu, maka konsekuensinya jenis atau bentuk koperasi yang paling dasar adalah koperasi produsen. Koperasi itu memiliki anggota yang sebagian besar atau semuanya adalah para produsen atau pengusaha penghasil produk. Jenis lainnya adalah koperasi konsumen, yaitu apabila anggotanya adalah para pengguna atau pemakai produk, baik hati itu untuk kepentingan konsumtif maupun untuk pemenuhan kebutuhan produktif. Dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian, dinyatakan dalam uraian penjelasan pasal 16 tentang jenis koperasi, bahwa akta jenis koperasi lain yang diakui, yang sebenarnya secara fungsional memiliki lingkup kegiatan yang tidak sepenuhnya sama atau setegas bentuk atau sifat dari jenis koperasi produsen atau koperasi konsumen, di samping ada pula penjenisan koperasi yang dikaitkan dengan macam kegiatan atau bersifat spesifIk, seperti misalnya koperasi simpan pinjam, koperasi jasa atau koperasi pemasaran, di samping koperasi pemuda, mahasiswa, wanita, pegawai negeri yang sifatnya fungsional dan lain-lainnya. Konsep koperasi harus kembali ke jatidirinya juga dimaksud untuk dapat menjelaskan posisi anggota tersebut, agar tidak menyulitkan koperasinya dalam menentukan manfaat apa yang ingin diperoleh para anggotanya dari koperasinya, yang mempunyai kaitan erat dengan upaya pengembangan posisinya di samping penetapan berbagai macam pelayanan yang diperlukan bagi anggotanya.
Secara sederhana, apabila anggotanya produsen, maka minimum harapan mereka adalah dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil usahanya, dengan misalnya melalui penjualan bersama produk yang dihasilkan. Jadi manfaat yang seyogyanya diharapkan dapat diberikan oleh koperasi misalnya,berupa: (a) peluang untuk menjual produk pada tingkat harga yang optimal; (b) jaminan bahwa produknya dapat terjual;(c) peluang untuk memperoleh harga input yang memberikan rendahnya biaya produksi dan sekaligus tepat waktu; (d) menyediakan altrnatif tehnologi pengolahan dan lain sebagainya. Dengan memperhatikan hal itu, koperasi dapat menetapkan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan diposisikan sebagai kegiatan usaha utama. Langkah inilah yang dimaksud dengan menemukan core business koperasi produsen bersangkutan. Dengan cara yang sama akan dapat pula ditemukan core business untuk koperasi konsumen atau koperasi-koperasi jenis lainnya, yang dapat disebut sebagai derivative structure dari koperasi produsen atau koperasi konsumen. Melalui cara yang sederhana tetapi jelas itu, koperasi akan dapat ditata dan dikembalikan kepada posisi sebagaimana yang diamanatkan. Itulah cara untuk menghasilkan badan usaha yang disebut bangun perusahaan koperasi.
Kelima, dalam pengembangan fungsi koperasi selanjutnya , koperasi produsen sebagai contoh akan memiliki peluang mengembangkan kegiatan pengolahan produk anggotanya yang dapat memberikan nilai tambah melalui kegiatan dimaksud. Meningkatnya nilai tambah produk itu pada gilirannya dapat meningkatkan nilai pendapatan para anggota maupun koperasinya, walaupun besarnya bias jadi tidak berlangsung secara proporsional. Kelebihan pendapatan yang diperoleh akan dapat diraih dengan melalui meningkatnya nilai sisa hasil usaha (SHU). Kesemuanya itu menggambarkan bahwa secara operasional, bahwa mekanisme interaksi dalam koperasi dapat mengakomodasi aplikasi konsep ilmu ekonomi yang biasa saja.
Keenam, dalam kaitan itu perubahan kualitas dapat pula ditempuh melalui penggunaan teknologi baru atau metode kerja dan peningkatan kualitas dari sarana produksinya. Dengan menggantungkan sepenuhnya pacta kesamaan kegiatan maupun kepentingan anggota, apabila ditinjau dari sisi ilmu ekonomi sebenarnya hanya merupakan upaya untuk dapat mensinergikan kekuatan yang dimiliki anggota agar dapat mencapai skala ekonomi. Bertumpu pada hal itu, pelaksanaan upaya mendorong koperasi agar kembali kepada jatidirinya, pada gilirannya justru semakin menjadi relevan untuk diprogramkan. Untuk itu dapat digunakan benchmarking terhadap sejumlah koperasi-koperasi yang mantap, dalam rangka memperoleh berbagai hal yang harus diluruskan dengan tetap mengacu pada ketentuan dan perundang-undangan yang
baru. Dari sisi hukum, hal itu dapat digunakan untuk menegakkan amanat konsitusi (disiplin). Melalui cara seperti itu koperasi -koperasi yang belum melakukan penilaian akan diupayakan untuk mengikatkan dirinya dalam program kaji ulang yang diharapkan akan menunjukkan bagaimana koperasi bersangkutan dapat mewujudkan bentuk koperasi yang sesungguhnya.

2.2.b Perbandingan Praktek yang Dijumpai pada Perusahaan Swasta maupun BUMN untuk Menunjukkan Bentuk Keunggulan Koperasi
Sistem perekonomian Indonesia menurut UUD ’45 adalah sistem perekonomian campuran, di mana negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; juga bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya yang merupakan pokok kemakmuran rakyat dikuasi oleh negara. Swasta diperkenankan untuk menguasai cabang-cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Organisasi koperasi yang mengorganisir usaha-usaha rakyat dakam semua sektor menjadi salah satu pilar penting dalam sistem perekonmian Indonesia. Jadi dalam sistem perekonomian Indonesia terdapat tiga pilar perekonomian : Perusahaan-perusahaan BUMN dan BUMD yang merupakan penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; organisasi-organisasi koperasi sebagai badan hukum perusahaan bagi usaha-usaha yang dimiliki rakyat banyak; perusahan-perusahaan swasta yang berusaha dalam sektor-sektor yang produktif. Antara perusahaan-perusahaan BUMN/BUMD dan organisasi-organisai koperasi, serta perusahaan-perusahaan swasta besar dan kecil harus menciptkan kerjasama berdasarkan kekeluargaan untuk mencapai suatu perekonomian nasioanal yang demokratis.
Trilogi pembangunan yaitu menciptakan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang dinamis dan strategis yang kemudian juga dijadikan sebagai misi yang melekat pada masing-masing pelaku ekonomi, baik negara, swasta, maupun koperasi di dalam sistem ekonomi nasional yang kita bangun.
Rumusan kedudukan, peranan, dan hubungan antara pelaku ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut:
1) BUMN, koperasi, dan swasta hendaknya ditempatkan pada posisi dan kedudukan yang setara. Hal ini berarti, setiap pelaku ekonomi baik secara normatif maupun operasional memiliki hak hidup yang sama, sesuai dengan misi yang diembannya.
2) BUMN, koperasi, dan swasta hendaknya melakukan peranan masing-masing dengan memanfaatkan keunggulan komparatif (Comparative advantage) yang dimilikinya.Keunggulan koperasi yang dimaksud di sini ialah bahwa masing-masing pelaku ekonomi mempunyai suatu kelebihan di satu bidang jika dibandingkan dengan pelaku ekonomi lainnya.

a. Keunggulan Koperatif Pelaku Ekonomi
Keunggulan komparatif tersebut dapat dilihat dari cita-cita organisasi masing-masing pelaku ekonomi tersebut. BUMN dimiliki dan dikelola oleh pemerintah. BUMN bukan merupakan suatu perusahaan yang mengejar keuntungan sebagai prioritas utama, akan tetapi merupakan alat pemerintah yang efektif dalam melaksanakan pembangunan nasional. Dengan demikian, BUMN mengemban tugas melayani kepentingan umum untuk memenuhi hajat orang banyak. Berbeda dengan sektor swasta yang dimiliki dan dikelola secara perseorangan, keluarga, dan atau sekelompok kecil orang yang memiliki modal untuk mencapai tujuan memberi keuntungan yang semaksimal mungkin. Lain halnya sektor koperasi yang merupakan wadah ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang, dimiliki dan dikelola oleh anggota untuk kepentingan anggota serta masyarakat secara kekeluargaan.
Bertitik tolak dari ciri-ciri pelaku ekonomi tersebut diatas, maka keunggulan komparatif yang khas yang berkaitan dengan trilogi pembangunan nasional adaah sebagai berikut:
1) BUMN cenderung untuk melakukan peran utama sebagai stabilisator dan perintis perekonomian nasional
2) Swasta cenderung mengarah untuk melakukan peran utama di bidang pertumbuhan ekonomi nasional.
3) Koperasi mengemban peran utama di bidang pemerataan pembangunan dan hasil hasilnya.

Ada 9 asas pembangunan nasional yang harus diperhatikan dalam setiap pelaksanaan pembangunan (GBHN, 1988) yaitu:
1. Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etika dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila.
2. Asas Manfaat, bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan pribadi warga negara serta mengutamakan kelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa dan elestarian fungsi lingkungan hidup dalam rangka pembangunan yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
3. Asas Demokrasi Pancasila, bahwa upaya mencapai tujuan pembangunan nasional yang meliputi seluruh kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dilakukan dengan semangat kekeluargaan yang bercirikan kebersamaan, gotong-royong, persatuan dan kesatuan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
4. Asas Adil dan Merata, bahwa pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai usaha bersama harus merata di semua lapisan masyarakat dan di seluruh wilayah tanah air.
5. Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan dalam Perikehidupan, bahwa dalam pembangunan nasional harus ada keseimbangan antara berbagai kepentingan, yaitu keseimbangan, keserasian, keselarasan antara kepentingan dunia dan akhirat, jiwa dan raga, individu, masyarakat dana negara, dan lain-lain.
6. Asas Kesadaran Hukum, bahwa dalam pembangunan nasional setiap warga negara dan penyelenggara negara harus taat pada hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta negara diwajibkan untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum.
7. Asas Kemandirian, bahwa dalam pembangunan nasional harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepada kepribadian bangsa.
8. Asas Kejuangan, bahwa dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, penyelenggaraan negara dan masyarakat harus memiliki mental, tekad, jiwa dan semangat pengabdian serta ketaatan dan disiplin yang tinggi dengan lebih mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi/golongan.
9. Asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dalam pembangunan nasional dapat memberikan kesejahteraan lahir batin yang setinggi-tingginya, penyelenggaraannya perlu menerapakan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan tekonologi secara seksam dan bertanggung jawab dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.

b. Koperasi sebagai Sokoguru Perekonomian Indonesia
Tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk mencapai kemakmuran masyarakat. Ketentuan dasar dalam melaksanakan kegiatan ini diatur oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yang berbunyi, ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
Dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 ini dikatakan bahwa ”produksi di kerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”
Penjelasan pasal 33 UUD 1945 ini menempatkan kedudukan koperasi (1) sebagai sokoguru perekonomian nasional, dan (2) sebagai bagian integral tata perekonomian nasional. Menurut Kamus Umum Lengkap karangan Wojowasito (1982), arti dari sokoguru adalah pilar atau tiang. Jadi, makna dari istilah koperasi sebagai sokoguru perekonomian dapat diartikan koperasi sebagai pilar atau ”penyangga utama” atau ”tulang punggung” perekonomian. Dengan demikian koperasi diperankan dan difungsikan sebagai pilar utama dalam sistem perekonomian nasional.

2.2.c Kelemahan dari Jatidiri Koperasi
Jatidiri koperasi (Cooperative Identity, atau lengkapnya ICA Cooperative) dan Rapat anggota ICA yang diselenggarakan di Manchester, Inggris pada September 1995, yang terdiri dari definisi, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi. Sebagai suatu kesepakatan gerakan koperasi internasional merupakan pedoman bagi koperasi diseluruh dunia, khususnya yang menjadi anggota ICA. Jatidiri koperasi ini bersifat universal, sehingga operasionalnya harus mengacu pada jatidiri koperasi. Sven Ake Book membedakan dua “Prinsip” koperasi : yaitu basic cooperative principles (berlaku universal) dan basic cooperative parctise, sebagai pedoman operasional dalam berkoperasi atau sebagai parameter untuk mengukur sejauh mana suatu koperasi masih berada dalam “koridor koperasi”.
Meski telah disepakati selama hampir 13 tahun sejak disahkannya pada tahun 1995, jatidiri koperasi ICA belum dipahami secara luas, apalagi diterapkan dalam praktek kehidupan perkoperasian Indonesia. Demikian pula dalam rangka perumusan kebijakan pengembangan koperasi oleh pemerintah, Jatidiri koperasi juga masih sangat terbatas digunakan sebagai dasar atau pedoman kebijakan.
Jumlah koperasi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah. Pertambahan ini dapat dilihat dari jumlah koperasi, permodalan, volume usaha dan SHU dari tahun ke tahun. Meskipun demikian belum tergambarkan tentang pelaksanakan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, seperti: Partisipasi anggota dalam rapat anggota, Pemupukan modal, Penggunaan jasa koperasi dalam kegiatan ekonomi, proses demokrasinya dan sebagainya. Untuk memberikan gambaran yang lengkap dan valid tentang perkembangan koperasi, sebaiknya dilakukan melalui audit, bukan saja audit keuangan, tetapi juga audit yang lebih lengkap mencangkup pelaksanaan nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya oleh lembaga independen.
Ilustrasi mengenai kondisi koperasi saat ini :
Dilihat dari “Koridor Jatidiri Koperasi”, masih cukup banyak koperasi (terutama koperasi simpan pinjam) yang melayani bukan anggota (yang disebut sebagai ”calon anggota) yang jumlahnya jauh lebih besar dari anggotanya sendiri, tanpa meningkatkan status calon anggota tersebut sebagai anggota penuh.
Sementara antar tingkat organisasi (primer-sekunder-tersier / nasional) banyak yang tidak melaksanakan prinsip subsidiaritas, bahkan banyak terjadi duplikasi pelayanan oleh tingkat-tingkat organisasi tersebut. Kenyataan-kenyataan ini (yang jumlah dan tingkat penyimpangannya perlu diteliti lebih mendalam) tentu perlu segera diluruskan, dalam upaya untuk mengembangkan koperasi secara sehat dan benar sesuai dengan jatidiri koperasi.

2.3 Hal-hal yang perlu Diperbaiki agar Gerakan Koperasi di Indonesia dapat Tumbuh dan Berkembang sesuai dengan Jatidiri Koperasi

Sebagai wujud dari komitmen kita terhadap pelaksanaan Jatidiri Koperasi yang telah disahkan pada Kongres/Rapat Anggota ICA pada 1995 serta terhadap Keputusan/Rekomendasi Konperensi Menteri-menteri Koperasi se-Asia Pasifik, maka semua pihak terkait harus memahami dan melaksankaan Jatidiri Koperasi ICA ini. Khusus pada pemerintah dalam rangka pelaksanaan jatidiri koperasi ini terdapat berbagai masukan :
• Pemerintah (Kementrian Koperasi & UKM) agar mensosialisasikan Jatidiri koperasi di kalangan instansi-instansi pemerintah, khususnya yang mempunyai peranan dalam pembangunan koperasi. (Resolusi Konperensi Menteri-menteri Koperasi se-Asia Pasifik 1997).
• Sehubungan dengan berlakunya UU otonom; daerah yang memberi wewenang cukup luas dalam mengembangkan koperasi di daerahnya, maka perlu ada ketentuan mengenai pegembangan koperasi yang berjatidiri, yang berlaku secara nasional.
• Pemerintah segera menyusun UU serta peraturan/kebijakan pembinaan koperasi yang secraa konsisten berdasarkan jatidiri Koperasi ICA (ICIS).
• Dalam upaya untuk membangun koperasi yag sehat dan mandiri, dukungan pemerintah sebaiknya ditujukan pada penguatan kelembagaan (organisasi dan manajemen usaha). Pemberian fasilitas modal hanya diberikan kepada koperasi, yang lembaganya benar-benar sudah kuat.
• Mengingat keberhasilan pembangunan koperasi akan berdampak positif bagi pembangunan nasional seperti: pengurangan kemiskinan; penciptaan lapangan kerja; dan penciptaan masyarakat madani yang demokratis, maka kerjasama antara pemerintah dan gerakan merupakan suatu keharusan.
• Antara pemerintah dan gerakan koperasi perlu memiliki persepsi atau pemahaman dan penafsiran yang sama terhadap jatidiri koperasi sebagai oasis bagi kemitraan dalam pembangunan koperasi secara nasional. Kebijakan pembangunan koperasi nasional ini perlu dituangkan dalam “Kebijakan Nasional Pembangunan Koperasi”, yang memuat apa yang harus dilakukan gerakan dan apa yang harus dilakukan pemerintah.

Bagi pengurus koperasi :
• Melaksanakan fungsi koperasi sebagamana mestinya
• Menyalurkan segenap aspirasi dari anggota dalam melakukan kegiatan operasional koperasi
• Lebih mengutamakan anggota koperasi dibandingkan diluar anggota koperasi sebagai salah satu wujud mensejahterakan anggota
• Adanya bentuk operasional mengenai administrasi dan keuangan koperasi yang jelas

Bagi anggota koperasi :
• Melaksanakan hak dan kewajiban sebagai anggota koperasi yang sesuai dengan ketentuan keanggotaan koperasi
• Menyadari bahwa koperasi milik bersama dan harus dibangun bersama baik oleh pengurus maupun anggota
• Anggota sebagai salah satu cara dalam mengembangkan koperasi karena koperasi dibentuk untuk dan oleh anggota

2.4 Contoh Nyata Koperasi
Peluang dan potensi keberhasilan koperasi dalam era otonomi daerah, study kasus pada kopersi mebel rotan di Cirebon
Pembangunan ekonomi masa yang akan datang diharapkan pada dua tantangan yaitu :
1. Meningkatnya daya saing industri nasional melalui peningkatan efisiensi dan pembangunan keunggulan yang kompetitif.
2. Melaksanakan proses desentralisasi ekonomi secara bertahap agar seluruh sumber daya ekonomi diseluruh daerah dapat segera tergerakkan secara serempak menjadi kegiatan ekonomi yang meluas yang didukung oleh semakin tumbuhnya prakarsa jiwa wirausaha. Dengan demikian peran koperasi menjadi penting sebagai sokoguru dan bagian integral dari tata perekonomian nasional. Koperasi secara bersama-sama dengan usaha swasta, daerah dan negara harus mampu menjadi penggerak utama dalam peran meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengembangan koperasi yang sehat, kuat langgeng, mandiri dan berfungsi sebagai wadah menggalang ekonomi rakyat.
Otonomi daerah pada hakekatnya ialah demokrasi di bidang pemerintahan. Secara filosofis dapat dilihat hal-hal pokok dalam otonomi daerah dimana dengan implementasi otonomi daerah maka akan terdapat indikasi sebagai berikut:
1. Semua persoalan daerah atau lokal akan selesai di tingkat lokal. Jadi masalah-masalah di kabupaten tidak perlu dibawa ke propinsi atau ke pusat, demikian juga persoalan propinsi tidak dibawa ke pusat, persoalan desa tidak harus ke kabupaten dan seterusnya.
2. Daerah akan berkembang dengan prakarsanya sendiri berdasarkan kewenangan dan tanggungjawab yang dimilikimya.
3. Sifat-sifat atau ciri-ciri khusus daerah atau lokalitas sangat dihargai dan dipertimbangkan, dan tidak ada lagi upaya-upaya penyeragaman.
4. Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab secara tegas antara legislatif dan eksekutif untuk pengembangan daerah bagi kesejahteraan masyarakat yang dipertanggung jawabkan secara administratif, sosial dan moral.
5. Partisipasi masyarakat berkembang, secara dinamis pada setiap denyut daerah sebagai kesatuan masyarakat hukum.
Dengan adanya otonomi daerah, anggaran pemerintah daerah untuk mengembangkan ekonomi daerahnya lebih besar karena pemerintah daerah akan memperjuangkan kepentingan daerahnya demi terciptanya kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. UU No 25/1999 menyebutkan bahwa pertimbangan keuangan antara pusat dengan daerah akan memberikan porsi besar kepada daerah untuk mengatur anggaran rumah tangganya sendiri sehingga dengan adanya otonomi daerah, anggaran pemerintah daerah untuk mengembangkan ekonomi daerahnya lebih besar karena pemerintah daerah akan memperjuangkan kepentingan daerahnya demi terciptanya kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Dengan demikian pemerintah daerah dapat mengembangkan daerahnya sesuai potensi daerah tersebut melalui program-program yang dicanangkan serta kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah ini adalah melalui usaha bersama untuk memecahkan masalah bersama guna meningkatkan kesejahteraan rakyat, yaitu koperasi. Seperti contoh kasus di Cirebon bahwa untuk meningkatkan usaha mebel rotan di Cirebon membentuk koperasi dan UKM untuk membantu para pengusaha mebel dalam hal pasokan bahan baku. Koperasi dengan bantuan pemerintah dapat membantu pengusaha mebel untuk mengimpor bahan baku dari Afrika apabila mereka mengalami kesulitan dalam hal penyediaan bahan baku. Dengan bantuan pemerintah, koperasi dapat lebih berkembang. Koperasi juga dapat membantu para anggotanya dalam menyediakan pangsa pasar dan memperkuat bargaining position anggota, dalam hal ini para pengusaha mebel. Dalam rangka kerja otonomi daerah, bidang koperasi merupakan salah satu kewenangan wajib kabupaten dan kota; untuk itu kebijaksanaan strategis koperasi ke depan dapat dikembangkan sebagai berikut:
Pertama, terciptanya koperasi yang berbasis anggota yang mampu melayani kebutuhan pokok anggota. Kedua, meningkatkan akses pasar dan memperbesar pangsa pasar baik di daerah, regional, nasional maupun internasional. Ketiga, memperluas akses terhadap permodalan, memperkokoh struktur permodalan serta meningkatkan kemampuan pemanfaatan modal. Keempat, meningkatkan akses terhadap teknologi, manajemen kemampuan sumber daya manusia serta memantapkan kemitraan.
Peran pemeritah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan semakin berkurang dan menempatkan swasta dan koperasi untuk ikut berperan dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan melalui mekanisme pasar yang kompetitif. Pemerintah Daerah lebih ditempatkan pada fungsi pengendali dan pengawas atas pekerjaan yang diserahkan kepada Swasta dan Koperasi. Dengan demikian peletakkan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Pada dasarnya otonomi daerah yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 meletakkan semua kewenangan Pemerintah pada daerah Kabupaten dan daerah Kota, kecuali kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Kewenangan daerah dilaksanakan secara luas, utuh, dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan.
Sesuai dengan tujuan peletakkan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, maka dalam pengembangan koperasi di era Otonomi Daerah ini harus mampu dijawab oleh daerah bagaimana memberdayakan seluruh potensi sumber daya daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui wadah koperasi. Ada beberapa hal yang menjadi acuan dasar kewenangan di bidang koperasi, yaitu:
1. Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa ”Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Kewenangan ini mempunyai implikasi bahwa daerah dimungkinkan untuk memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya yang ada dengan memperhatikan karakteristik dan daya dukungannya (carrying capacity).
2. Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa ”Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah Kabupaten dan daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja”.
3. Sesuai dengan semangat Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Pasal 1 ayat (3) bulir 6 Peraturan Pemerintahan Nomor 25 Tahun 1999, maka secara umum pembagian kewenangan di bidang perkoperasian adalah sebagai berikut:
a. Kewenangan Pusat antara lain berupa:
• Penempatan pedoman akuntansi koperasi dan pengusaha kecil dan menengah.
• Penetapan pedoman penyertaan modal pada koperasi.
• Fasilitasi pengembangan sistem distribusi bagi koperasi dan pengusaha kecil dan menengah.
• Fasilitasi kerjasama antar koperasi dan pengusaha kecil dan menengah serta kerjasama dengan badan usaha lain.
b. Kewenangan Propinsi di Bidang Perkoperasian antara lain berupa penyediaan dukungan pengembangan koperasi.
c. Sedangakan dikewenangan Kabupaten/Kota tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000, karena Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya meletakkan semua kewenangan pemerintah pada daerah.
Ancaman yang mungkin dihadapi dalam pengembangan koperasi di daerah antara lain:
1. Tuntutan pendanaan pembangunan daerah membuat Pemerintah Daerah cenderung menarik pajak dan retribusi daripada mengkondisikan daerah agar lebih cepat merangsang pertumbuhan ekonomi. Dikhawatirkan koperasi menjadi sasaran pajak dan retribusi saja tanpa mendapatkan pelayanan public yang seimbang.
2. Selama ini banyak upaya pemberdayaan masyarakat silakukan oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah dikhawatirkan belum memehami substansi program tersebut. Hal ini dapat mengancam keberlanjutan program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah pusat.
3. Alasan percepatan pembangunan membuat Pemerintah Daerah lebih senang memilih pelaku usaha yang sudah mampu daripada melibatkan koperasi dalam pembangunan. Hal ini memang sangat tergantung dari kapabilits koperasi yang berada di daerah tersebut.
Sedangkan peluang yang mungkin adalah bahwasannya otonomi daerah membuat pembangunan mengarah pada local based development sekaligus community based development sebab pengambilan keputusan tipologi pembangunan diserahkan pada daerah sehingga tidak ada lagi program dari pusat yang seragam dan tidak terlalu memperhatikan karakteristik daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar